Language
Game
Dalam
hal ini, bahasa telah menjadi pusat perhatian para filsuf, karena adanya
pengaruh perkembangan masalah –
masalah filsafat
pada zaman tertentu. Para
ahli filsafat juga sependapat bahwa antara bahasa dan filsafat memiliki
hubungan yang sangat erat. Yang
mana tugas filsafat adalah membuat konsep-konsep, yang kemudian konsep tersebut
dianalisa dan dijelaskan oleh bahasa yang sesuai dengan makna tertentu.[1] Sebuah bahasa dapat dibentuk oleh sejumlah
komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan.
Wittgeinstein menekankan pada aspek pragmatik bahasa
yaitu sebagai alat komunikasi dalam hidup manusia. Bahasa
tidak hanya memiliki satu struktur logis saja, melainkan segi penggunaannya
dalam hidup manusia yang bersifat komplek dalam berbagai kehidupan. Dan bahasa bukan hanya sebagai alat
komunikasi yang berupa sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap.
Namun sebuah bahasa akan memiliki makna tertentu, apabila bahasa digunakan
sesuai dengan penggunaannya.
Ludwig
Wittgenstein lahir
pada tanggal 26 April 1889 di Wina, Austria.[2]
Dan istilah
language game mulai dikenalkan oleh Ludwig Wittgenstein, pada karya
keduanya yang berjudul Philosophical
Invesetigation. Wittgenstein pada periode ini lebih memperhatikan bahasa
biasa (Ordinary
Language) yang dipakai manusia dalam kehidupan
sehari-hari, yang tentusaja bersifat beraneka ragam, dan bukan lagi pada bahasa
logika. Sebelumnya Wittgeinstein telah sukses dengan karya
pertamanya yang berjudul Tractacus Logico-Philosophicus, namun ia menyadari bahwa logika
ternyata mengandung kelemahan, yaitu tidak mampu menyentuh seluruh realitas
yang tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu ia mengalihkan
perhatian pada keanekaragaman bahasa biasa dan cara penggunaannya.[3]
Kedua
karya ini adalah disertasi Wittgeinstein pada saat beliau menyelesaikan gelar
doktornya di Inggris, yaitu di Akademi Trinity dan Universitas Cambridge.[4]
Karya keduanya ini diterbitkan pada tahun 1953 setelah kematiannya, dalam teks
bahasa Inggris, dan teks aslinya bahasa Jerman, Philosophiesce Untersuhungen. Banyak perbedaan antara karya pertama
dan kedua Wittgeinstein, namun karya yang kedua menggambarkan kontinuitas
dengan karya pertamanya.[5]
Dalam
Tractatus, Wittgeinstein mendasarkan
setiap hal pada gagasan bahwa hubungan formal dimana sebuah proposisi
menghadapi realitas. Namun
apabila Investigations, makna
dipahami dengan sebuah fungsi bagaimana menggunakan kata, maksud-maksud manusia
dan bentuk-bentuk kehidupan yang manusia terlibat di dalamnya adalah sesuatu
yang memberikan makna pada bahasa.[6] Tidak ada analisa final mengenai
proposisi ke dalam nama-nama yang secara logis tepat yaitu nama-nama obyek
sederhana di dunia. Sebaliknya, bahasa dilihat sebagai fenomena manusia alamiah
dan tugas filsafat yaitu tugas untuk menggabungkan sejumlah surat peringatan
atau tanda mata penggunaan aktual terhadap bahasa untuk menghilangkan teka-teki
yang terkadang diciptakan.
Bahasa
tidak memiliki satu struktur yang logis saja namun bahasa
akan berkembang secara terus – menerus hingga mempunyai jenis-jenis bahasa
baru. Dan bahasa juga melambangkan sesuatu yang memiliki
sebuah makna atau konsep tertentu. Maka
dari itu Wittgenstein, mengemukakan sebuah istilah language game (tata permainan bahasa), yang mana bahasa merupakan
sebagian dari suatu kegiatan atau suatu bentuk kehidupan.
Kata
language game (tata permainan bahasa)
dipakai oleh Wittgeinstein, karena dalam kenyataan penggunaannya, bahasa
merupakan sebagian dari suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan.
Jadi dapat dilihat jamak atau majemuknya permainan bahasa itu dalam kehidupan
sehari-hari.[7] Setiap bentuk permainan bahasa akan
memiliki aturan permainan sendiri dan tidak dapat dicampuradukkan. Karena
kekacauan dalam pemakaian bahasa, menurut
Wittgenstein, disebabkan oleh ketidaktepatan (kekeliruan) penerapan aturan
(tata permainan bahasa) dalam sebuah konteks tertentu. Hal ini dapat
dianalogikan dengan berbagai bentuk permainan (game) yang masing-masing
memiliki aturan (rule) masing-masing. Dari sinilah kekacauan
bahasa itu muncul, ketika seseorang menerapkan aturan bahasa yang tidak pada
tempat dan kegunaannya.
Seperti
halnya penggunaan bahasa ilmiah, hanya dapat dimengerti oleh orang-orang
ilmiah. Begitupun dengan penggunaan bahasa santai, hanya dapat digunakan pada
kehidupan sehari-hari dan tidak dapat diterapkan di bahasa ilmiah. Dalam sebuah
bahasa terkadang terdapat ungkapan yang sama namun maknanya tetap sangat
tergantung pada penggunaan dalam situasi atau konteks yang bersangkutan yang
memiliki aturan masing-masing. Contohnya dalam penggunaan kata deiksis yaitu
kata “aku”, yang dalam bahasa Indonesia menyatakan diri sendiri. Tetapi kata
“aku” dalam ruang lingkup pembicaraan dengan orang yang lebih tua umurnya
ataupun tingkatannya, terkesan kurang sopan. Namun
apabila kata “aku” digunakan untuk percakapan dengan teman sebaya tidak
menimbulkan kurang sopan.
Dari
sini dapat disimpulkan bahwa sebuah pembicaraan atau percakapan terdapat pula
permainan bahasa, yaitu dengan orang yang lebih tua dan dengan teman sendiri.
Permainan ini yang disebut juga serupa tapi tidak sama, artinya bahwa kata
“aku” memiliki sifat umum yang serupa yang menyatakan diri sendiri, tapi makna
kata tidak sama, tergantung pada ruang lingkup penggunaannya. Maka dari itu
tidak bisa seseorang menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat
umum, yang dapat berlaku dalam konteks kehidupan manusia. Sebagaimana yang
dikatakan Wittgeinstein sebagai berikut :[8]
“Makna sebuah kata adalah tergantung
penggunaannya dalam suatu kalimat, adapun makna kalimat tergantung
penggunaannya dalam bahasa.Sedangkan makna bahasa adalah tergantung
penggunaannya dalam hidup.”
Kekacauan dalam proses penerjemahan adalah kurang
menguasai tata permainan bahasa, baik yang terdapat di dalam bahasa sumber
maupun bahasa sasaran. Jadi apabila terdapat ungkapan yang sama namun maknanya
tetap sangat tergantung pada penggunaan dalam situasi atau konteks yang
bersangkutan yang memiliki aturan masing-masing.
[1]
Kaelan, Pembahasan Filsafat Bahasa, (Yogyakarta : Paradigma, 2013), 1.
[2] Samuel Enoch Stumpf, Socrates Socrates to Sartre and Beyond: A History of Philosophy, ( New York, McGraw-Hill Higher Education : 1998), 103
[3]
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik
(Sejarah perkembangan dan Peranan para Tokohnya), (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada : 1995), 80
[4]
Wahyu Wibowo, Tata Permainan Bahasa Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta, PT.
Bumi Aksara : 2010), 4
[5]
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik
(Sejarah perkembangan dan Peranan para Tokohnya),81
[6]
Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, (Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada : 2001), 219
[7]
Kaelan, Pembahasan Filsafat Bahasa, 145
[8]
Kaelan, Pembahasan Filsafat Bahasa, 146