Syi’ir
Menurut etimologi kata syi’ir berasal dari bahasa Arab, yaitu sya’ara atau sya’ura, yang artinya mengetahui dan merasakannya. Sedangkan secara
terminologi, Ali Badri mengatakan bahwa “syi’ir
adalah suatu kalimat yang sengaja disusun dengan menggunakan irama atau wazan
Arab”.[1]
Dan menurut Ahmad Asy-Syayib, syi’ír atau puisi Arab adalah ucapan atau tulisan
yang memiliki wazan atau bahr (mengikuti prosodi
atau ritme gaya lama) dan qafiyah (rima akhir atau kesesuaian akhir baris/satr) serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang
harus dominan disbanding prosa.
|
Puisi lama atau syi’ir biasanya
dibagi dan dikategorikan berdasarkan bentuk dan isi dari syi’ir tersebut.
Menurut bentuknya, puisi Arab dibagi menjadi empat bagian yaitu ; puisi
tradisional, puisi mursal, muwasysyahat, dan puisi bebas (hurr).
Dalam literature Arab, puisi tradisional sering disebut dengan puisi klasik (qadim), atau puisi lazim / multazim
(biasa/konvensional atau terikat aturan lama).
Puisi tradisional ini terikat prosodi / matra gaya lama atau arud
(wazan / bahr) dan qafiyah,
yang
secara enjambemen (susunan baris) umunya dalam qasidah (dua baris sejajar).[3]
Dalam hal ini arud adalah ilmu yang membahas benar dan tidaknya bahr (wazan) dan perubahannya (varian) yang dipakai dalam suatu syi’ir
(puisi Arab konvensional). Sedangkan bahr
adalah prosodi atau ritme /matra gaya yang jumlahnya banyak. Yang terkenal di
antaranya adalah matra atau bahr basit,
tawil, rajz, kamil, madid, khafif, wafer, mutadarik, hazaj, mutaqarib, dan
lain-lain.[4]
Dan qafiyah adalah kesesuaian akhir
baris dalm setiap bait puisi.
Para ahli mendefisikan bahwa penggunaan
puisi terbagi menjadi dua, yaitu ; menitik beratkan pada stuktur luar (bentuk)
dan ada juga yang menitikberatkan pada struktur dalam (isi). Namun struktur
luar puisi harus memperhatikan diksi (pemilihan kata) untuk dapat melahirkan
efek estetika bahasa dan makna.Sedangkan yang dimaksud dengan struktur dalam
puisi adalah pesan atau makna imajinatif, maka emosional (perasaan), dan makna
logisnya.Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab modern, puisi pada umumnya
menggunakan kata konotatif dan simbolik.
Banyak perbedaan pendapat yang
mengemukakan tentang asal-usul syair Indonesia.Ini dikarenakan kekurangan bahan
untuk dijadikan referensi dalam membuktikan asal-usul syair Indonesia. Ada
kemiripan pendapat antara Hooykaas dan Marrison, bahwa asal-usul syair
Indonesia berasal dari satu tulisan tua, yang terpahat pada batu nisan karya
Minye Tujuh di Aceh pada tahun 1380 M. Tulisan dalam batu nisan tersebut
menggunakan bahasa sansekerta yang sudah dikenali dalam kesusastraan Jawa.
Namun berbeda dengan Teeuw, Winsted, Brakel dan S. M. Naguib, bahwa asal-usul
syair Indonesia berasal dari puisi yang dikarang oleh Hamzah Fansuri pada abad
ke enam belas Masehi, dan beliau adalah seorang penulis syair yang pertama
dalam kesusastraan Indonesia. Melalui tulisan Hamzah Fansuri, unsur-unsur
pemikiran dan seni sastra dari Arab dan Persia telah diperkenalkan dalam
kesusastraan Indonesia. Dari kesusastraan sufi Arab dan Parsi inilah yang
membantu Hamzah Fansuri dalam mengubah puisi ke dalam bahasa Indonesia yang
kemudian disebut dengan syair.[5] Syair dalam kesustraan Indonesia memiliki
ciri – ciri sebagai berikut :
1.
Satu bait terdiri dari empat baris
2.
Setiap baris terdiri dari empat kata dan
mempunyai 8 sampai 12 suku kata
3.
Memiliki kesamaan huruf di akhir masing
– masing bait atau bersajak a-a-a-a.[6]
Syair dalam kesusastraan Indonesia
memiliki beberapa jenis diantaranya :
1.
Syair Agama
Syair
agama merupakan syair yang mengandung tema ajaran ilmu tasawuf seperti yang
telah diciptakan oleh Hamzah Fasuri pada abad ke enam belas.
2.
Syair Romantis
Syair
ini berbentuk naratif yang mengisahkan tentang cerita percintaan biasanya syair
ini sering dibacakan dengan berlagu sehingga dapat memberi kesan yang menarik
kepada pendengarnya.
3.
Syair Sejarah
Syair
ini banyak mengandung unsur-unsur cerita sejarah dan berisi
tentang peperangan.
4.
Syair Kiasan
Syair kiasan adalah sejenis puisi yang
mengandung kiasan bercorak simbolik yang menggunakan perwatakan binatang yang
bertujuan sebagai sindiran atau kritikan dalam suatu peristiwa tertentu.
[1] Ali Badri, Muhaadlaraatun Fi ‘Ilmai Al-Aruudl Wal-Qafiyah, (Cairo :
Al-Jaami’ah Al-Azhar, 1984), 4.
[2]
Ridwan Nur Kholis, Nilai – Nilai Karakter
dalam Syi’ir Tanpa Waton ( Studi terhadap teks Syi’ir Tanpa Waton ),
Skripsi : 2013, 28.
[3]
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab : Klasik Dan Modern, (Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada : 2012), 12 - 13
[4]Chatibul
Umam, Al-Muyassar Fi ‘ilm al-Arud,
(Jakarta, Hikmah Syahid : 1990), 4
[5]IKAPI,
Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam, (Jakarta,Pustaka Al-Husna :
1989), 150
[6]
IKAPI, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam, 148
0 komentar:
Posting Komentar