Rabu, 19 Desember 2012

FILSAFAT IBNU MISKAWAIH

FILSAFAT IBNU MISKAWAIH
1.Latar Belakang
Ibnu Miskawaih adalah salah satu filsuf muslim Iran yang menonjol dari Rayy, Iran. Ia merupakan tokoh politik yang aktif selama masa Al-Booye. Beliau lebih terkenal sebagai filsuf akhlak ( al-falsafah al-amaliyyah ), dari pada sebagai filsuf Ketuhanan ( al-falsafah al-nazhariyyah al-ilahiyyah ). Beliau termotivasi oleh keadaan masyarakat yang pada waktu itu akhlaknya kurang baik, contohnya : minum-minuman keras, perzinahan, dan lainnya. Filosof Ibnu Miskawayh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah ada kemudian dikembangkan lagi dari filsuf – filsuf lain.
Ibnu Miskawaih adalah seorang moralis yang terkenal. Orang - orang  menyorotkan perhatiannya dalam membahas tentang moral atau akhlak. Menurutnya Akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa befikir dan pertimbangan serta latihan. Filosofinya sebagai seorang filosof akhlak dapat dilihat dari karya – karya tulisnya. Karya tulisnya banyak membahas tentang perilaku atau etika kehidupan.


2. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah riwayat hidup Ibnu Miskawaih ?
b.  Bagaimanakah pandangan Ibnu Miskawaih tentang Ketuhanan, Kenabian, Jiwa, Emanasi dan Akhlak ?
c.  Apa saja karya – karya Ibnu Miskawaih ?


3. Tujuan Penulisan
a.  Untuk menjelaskan tentang riwayat hidup Ibnu Miskawaih.
b.  Membantu mahasiswa untuk memahami pandangan Ibnu Miskawaih tentang Ketuhanan, Kenabian, Jiwa, Emanasi dan Akhlak.
c.  Membantu mahasiswa untuk dapat mengetahui karya – karya Ibnu Miskawaih.




PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih lahir di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H / 991 M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H / 16 Februari 1030 M.[1] Beliau lahir pada massa kejayaan khalifah Abbasiyyah, beliau keturunan dari Persia. Nama lengkap Ibnu Miskawaih ialah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kup ibnu Miskawaih. Beliau adalah seorang ilmuwan yang terkenal sebagai filsuf, penyair dan sejarahwan. Menurut dari beberapa penulis, bahwa Ibnu Miskawaih beragama majusi sebelum masuk islam. Namun, dilihat dari nama ayahnya “Muhammad “ menunjukkan nama seorang muslim, sehingga pada rujukan ini dapat diketahui bahwa Ibnu Miskawaih adalah seorang muslim, mungkin dari keturunan kakek atau neneknya yang beragama majusi.
Ibnu Miskawaih lebih menyukai sejarah dan filsafat . Beliau belajar sejarah pada Abu Bakar in Kamil Al-Qadhi terutama Tarikh al – Thabari, sedangkan filsafatnya Beliau belajar pada Ibnu Al-Khammar, mufassir kenamaan karya-karya Aristoteles. [2] Namun, Pemikiran beliau lebih merujuk kepada tataran filsafat etika, seperti Al-Ghazali, yang berbeda pemikiran dari Al-Kindi dan Al-Farabi yang lebih menekankan pada metafiska. Beliau juga terkenal sebagai ilmuwan yang hebat, pada saat itu beliau dapat menciptakan disiplin ilmu, seperti ilmu kedokteran, ilmu bahasa, sejarah dan filsafat. Tapi beliau lebih terkenal sebagai filsuf akhlak ( al-falsafah al-amaliyyah ), dari pada sebagai filsuf Ketuhanan ( al-falsafah al-nazhariyyah al-ilahiyyah ). Ini dikarenakan, beliau termotivasi oleh keadaan masyarakat yang pada waktu itu akhlaknya kurang baik, contohnya : minum-minuman keras, perzinahan, dan lainnya.
Ibnu Miskawaih juga merupakan seorang yang aktif dalam dunia politik di era  kekuasaan Dinasti Buwaihi, di Baghdad. Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Dia mengkombinasikan karier politik dengan peraturan filsafat yang penting. Tak hanya di kantor  Buwaihi di Baghdad, ia juga mengabdi di Isfahan dan Ray. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis. Semasa hidupnya, ia merupakan anggota kelompok intelektual terkenal seperti al-Tawhidi and al-Sijistani. Pada Akhirnya ia harus menghembuskan nafas terakhirnya di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M).
Meski filosofi yang diterapkannya khusus untuk masalah Islam, ia jarang menggunakan agama untuk mengubah filosofi, dan kemudian ia dikenal sebagai seorang humanis Islam. Dia menunjukkan kecenderungan dalam filsafat Islam untuk menyesuaikan Islam kedalam sistem praktik rasional yang lebih luas umum bagi semua manusia. Ibnu Miskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Miskawayh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.

2.2 Filsafat Ibn Miskawaih
1. Ketuhanan

Dalam masalah Ketuhanan Ibnu Miskawaih tidak memberikan perhatian berlebih, karena Tidak di perbincangkan lagi masalah ketuhanan di zamannya. Tidak banyak berbeda pemikiran Ibnu Miskawaih dengan pemikiran Filusuf lainnya, terutama Al-Kindi. Hal ini tampak bahwa Tuhan menurut Miskawaih adalah zat yang tidak berjisim, azali dan pencipta. Tuhan esa dalam segala aspek. Tuhan tidak terbagi-bagi karena tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan, dan ada-Nya tidak tergantung kepada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkan-Nya.[3]
Bagi Ibnu Miskawaih Tuhan adalah Dzat yang jelas dan zat yang tidak jelas. Dikatakan zat yang jelas karena Tuhan adalah Yang Haq (benar) berarti terang. Dikatakan tidak jelas, karena kelemahan akal untuk menangkap-Nya(mengetahui-Nya) disebabkan banyaknya dinding-dinding (Hijab) atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya. ketidaksamaan wujud manusia dengan wujud Tuhan menjadi pembatas sebuah pertemuan antara manusia dengan Tuhannya.
2. Emanasi
Ibnu Miskawaih juga menganut paham emanasi, sebagaimana Al – Farabi. Namun teori emanasi Ibnu Miskawaih berbeda dengan teori emanasi Al – Farabi. Al – Farabi mengatakan bahwa Allah menciptakan alam secara pancaran. Sedangkan menurut Ibnu Miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan ialah ‘Aql Fa’al (Akal Aktif). Akal Aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kadim, sempurna, dan tak berubah.[4] Dari akal aktif ini timbul jiwa dan dengan perantara jiwa pula timbul planet (al-falak). Alam ini dapat terpelihara berkat pancaran dari Tuhan, sekiranya pancaran Tuhan akan terhenti, maka berakhirlah kemaujuan dan kehidupan di alam ini.
Perbedaan antara Ibnu Miskawaih dan Al Farabi, yang paling menonjol adalah sebagai berikut :
a. Ibnu Miskawaih mengatakan, bahwa Allah menciptakan alam ini secara emanasi ( pancaran ) dari yang tidak ada menjadi ada. sedangkan Al – Farabi mengatakan bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi dari suatu bahan yang sudah ada menjadi ada.
b. Bagi Ibnu Miskawaih ciptaan Allah yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan Al – Farabi mengatakan bahwa ciptaan Allah yang pertama adalah akal pertama dan akal aktif adalah akal kesepuluh.
3. Kenabian
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menginterpretasikan kenabian secara ilmiah. Usahanya ini dapat pula memperkecil perbedaan antara nabi dan filosof dan memperkuat hubungan dan keharmonisan antara wahyu dan akal.
Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh akal aktif atas daya imjinasinya. Hakikat-hakikat atau kebenaran seperti ini diperoleh pula oleh filosof, perbedaannya hanya terletak pada teknik memperolehnya. Filosof mendapat kebenaran tersebut dari bawah keatas, yakni dari daya indrawi naik ke daya khayal dan naik lagi kedaya berfikir yang dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran dari akal aktif. Sedangkan nabi, mendapatkan kebenaran diturunkan langsung dari atas ke bawah, yakni dari akal aktif langsung kepada nabi sebagai rahmat Allah. Dari itu, sumber kebenaran yang diperoleh nabi dan filosof adalah sama,yaitu akal aktif (Akal fa’al).[5] Pemikiran ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Al-Farabi sebelumnya.
Penjelasan di atas dapat dijadikan petunjuk bahwa Ibnu Miskawaih berusaha merekonsiliasikan antara agama dan filsafat, dan keduanya mesti cocok dan serasi, karena sumber keduanya sama. Persamaan antara nabi dan filosof, bagi Ibnu Miskawaih, adalah dalam mencapai kebenaran, bukan persamaan keduanya dalam tingkatan, kemuliaan, dan kemaksuman.[6]
4. Jiwa
Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa adalah jahar Rohani yang kekal dan tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Menurutnya, kebahagian dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanlah kelezatan hakiki. Menurutnya manusia mempunyai dua unsur yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Ada manusia yang bahagia karena terikat dengan hal yang bersifat benda, namun ia rindu terhadap kebahgiaa jiwa dan terus berusaha mendapatkannya. Ada pula manusia yang mendapat kebahagian melalui jiwa dan melepas kebendaan.
Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibu miskawaih mengandung kepedihan dan penyesalan serta menghabat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Kebahagian jiwalah yang merupakan kebahagian yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memilikinya kederajat malaikat.
Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Immaterialitas jiwa itu menjadikan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari materil. Untuk itu, Ibn Miskawaih mengajukan argumentasi[7] :
1) Indera, setelah mempersepsi suatu tantangan kuat, selama beberapa waktu, tidak lagi mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda benar dengan aksi mental intuisi/kognisi.
2) Bilamana kita merenungkan suatu obyek yang musykil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek disekitar kita, yang kita anggap sebagai sedemikian banyak halangan bagi aktivitas spiritual. Jika esensi jiwa adalah materi, maka agar aktivitasnya tidak terhambat, jiwa tidak perlu lari dari dunia materi.
3) Mempersepsi rangsangan kuat memperlemah dan kadang-kadang merugikan indera. Disis lain, intelek berkembanga menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum (general nations).
4) Kelemahan fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
5) Jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak mempunyai pertalian dengan data inderawi. Indera, misalnya, tidak mampu memahami bahwa dua hal yang bertentangan tidak dapat ada bersamaan.
6) Ada suatu kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa dihadapannya melalui saluran inderawi, dan menimbang evidensi (bukti) masing-masing indera, inilah yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa itu harus berada di atas lingkungan materi.
5. Akhlak
Ibnu Miskawaih adalah seorang moralis yang terkenal. Banyak orang yang menyorot atau mendapat perhatian penuh dalam membahas tentang moral atau akhlak. Menurutnya Akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa befikir dan pertimbangan[8]. Sikap mental dibagi menjadi dua yaitu sikap yang berasal dari watak dan sikap yang berasal dari kebiasaan.
Berdasarkan pemikiran di atas, secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Namun menurut Ibnu Miskawaih akhlak manusia itu bisa berubah, dengan melalui pendidikan akhlak ( tarbiyah al-akhlak ). Contohnya perbuatan yang dimiliki oleh manusia dari akhlak yang tercela berubah menjadi akhlak yang baik, jika dia memang sudah tobat. Pemikiran Ibnu Miskawaih ini sejalan dengan ajaran islam, bahwa Al-Qur’an dan Hadits menyatakan Nabi Muhammad yang datang untuk menyempurnakan akhlak manusia. Seperti halnya tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentukan akhlak dan memperbaiki tingkah laku dalam membentuk pribadi muslim.
Dalam membahas masalah akhlak, ada tiga pokok bahasan yaitu kebaikan (al – khair), kebahagiaan ( al-sa’adah), dan keutamaan ( al-fadhillah ). Menurut Ibnu Miskawaih kebaikan adalah suatu keadaan di mana kita sampai pada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan dibagi menjadi dua, kebaikan khusus dan kebaikan umum. Kebaikan khusus adalah kebaikan untuk pribadinya masing – masing. Sedangkan kebaikan umum adalah kebaikan untuk seluruh manusia dalam menjalankan kepentingan bersama. Bagi Ibnu Miskawaih Kebahagiaan, mengandung kepedihan dan penyesalan, serta perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah SWT. Kebahagiaan jiwalah yang merupakan kebahagiaan yang paling sempurna dan mampu mengantar manusia yang memilikinya ke derajat malaikat. Keutamaan menurutnya adalah cinta kepada semua manusia, karena dengan adanya cinta masyarakat dapat ditegakkan.
2.3  Karya Tulisnya
Ibnu Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir (filosof), tetapi ia juga seorang penulis yang produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya,[9] yaitu :
a. Al-Fauz al-Akbar (membahas tentang masalah etika)
b. Al-Fauz al-Asghar
c. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M)
d. Uns al-Farid (koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah)
e.. Tartib al-Sa’adat (isinya akhlak dan politik)
f.  Al-Mustaufa (isinya syair-syair pilihan)
g. Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h. Al-Jami’
i.  Al-Siyab
j.  On the Simple Drugs (tentang kedokteran)
k.  On the composition of the Bajats (seni memasak)
l.   Kitab al-Ashribah (tentang minuman)
m. Tahzib al-Akhlaq (tentang akhlak)
n.  Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi jauhar al-Nafs
o.  Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-Aql
p.  Al-jawab fi al-Masa’il al-Salas
q.  Risalat fi jawab fi su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql

PENUTUP
Kesimpulan

Ibnu Miskawaih lahir di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H / 991 M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H / 16 Februari 1030 M. Nama lengkap Ibnu Miskawaih ialah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kup ibnu Miskawaih. Beliau adalah seorang ilmuwan yang terkenal sebagai filsuf, penyair dan sejarahwan. Ibnu Miskawaih lebih menyukai sejarah dan filsafat . Beliau belajar sejarah pada Abu Bakar in Kamil Al-Qadhi terutama Tarikh al – Thabari, sedangkan filsafatnya Beliau belajar pada Ibnu Al-Khammar, mufassir kenamaan karya-karya Aristoteles.
Dalam membahas masalah Ketuhanan Ibnu Miskawaih tidak memberikan perhatian berlebih, karena Tidak di perbincangkan lagi masalah ketuhanan di zamannya. Tuhan menurut Miskawaih adalah zat yang tidak berjisim, azali dan pencipta. Tuhan esa dalam segala aspek. Tuhan tidak terbagi-bagi karena tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara dengan-Nya. Ibnu Miskawaih juga menginterpretasikan kenabian secara ilmiah. Menurutnya nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh akal aktif atas daya imjinasinya. Sedangkan pandanganya tentang jiwa adalah jahar Rohani yang kekal dan tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Akhlak baginya adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa befikir dan pertimbangan. Berdasarkan pemikiran di atas, secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Namun menurut Ibnu Miskawaih akhlak manusia itu bisa berubah, dengan melalui pendidikan akhlak ( tarbiyah al-akhlak ).

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Dr. Hasyimsyah, M.A. Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta. 1999.
Oliver Leaman. Ibn Miskawaih dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Mizan, Bandung. 2003.
Prof. Dr. H. Sirajuddinzar, M. A, Filsafat Islam, Filosof dan filsafatnya. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2004.

[1] Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlak fi al-Islam. ( Kairo : Dar al-A’arif, 1945 )  71
[2] M.M. Syarif, (Ed.), The History of Muslim Philosophy, (New York : Dover Piblications, 1967)  469
[3] Sirajuddinzar. Filsafat Islam ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004 ) 129
[4] Sirajuddinzar. Filsafat Islam ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004 ) 131
[5]Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlak fi al-Islam. ( Kairo : Dar al-A’arif, 1945 ) 70
[6] Nadim al-jisr, Qishshat al-Iman, (Beirut : Dar al-Andalus, 1963) 57
[7] Dr. Hasyimsyah Nasution, M. A. Filsafat Islam hal. 63
[8] Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlak fi al-Islam. ( Kairo : Dar al-A’arif, 1945 ) 81
[9]M.M. Syarif, (Ed.), The History of Muslim Philosophy, (New York : Dover Piblications, 1967) 470.

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.